(Ambin Demokrasi) KLAIM PRESTASI, LEBIH BANYAK MEMANEN DARI PADA MENANAM

Oleh: Noorhalis Majid

Banjarmasin ; Mediapublik.com

Karena ingin dianggap berprestasi, sering kali politisi mengklaim semua hal yang dianggap capaian. Termasuk hal-hal yang bukan diusahakan olehnya. Akibatanya, antara yang diupayakan dengan prestasi itu sendiri, tidak seimbang. Klaim lebih besar dari upaya, akibatnya berpotensi memanen jerih payah orang lain. 

Jangan heran, setiap kali peresmian proyek pembangunan, selalu dihadiri politisi dari daerah pemilihan tempat proyek tersebut dilaksanakan. Padahal, belum tentu politisi tersebut ikut mengusahakannya. Bahkan, sekedar memikirkan saja, belum tentu terlibat. Tapi itulah politik, rawan sekali dengan klaim kepentingan.  

Tidak dapat dipungkiri, ada politisi tinggi hati, selalu merasa dialah yang paling mengusahakan segalanya. “Itu karena aku, di sana juga karena upayaku. Kalau bukan aku, tidak mungkin semuanya terjadi”. Keakuan ditonjolkan, agar dianggap lebih unggul dari politisi lainnya.

Tentu ada juga yang rendah hati. Semua capaian kemajuan, tidak pernah dianggap sebagai upaya dia sendiri. Sebab memang tidak mungkin sendirian, ada sistem dengan melibatkan banyak orang. 

Dan, boleh jadi semua campaian kemajuan itu serba kebetulan. Karena memang lagi ada program nasional, karena ada desakan kebutuhan pemerataan, dan ada hibah atau anggaran yang tersedia, maka proyek tersebut terjadi. Hanya karena naluri atau lebih tepatnya “nafsu” politik, klaim yang bukan hasil jerih payahnya dilakukan.

Kalau Pemilu dituntut jujur dan adil, mestinya politisi juga harus jujur dan adil. Bahkan kata Pram, jujur sejak dalam pikiran. Hanya dengan kejujuran, perbaikan bisa dilakukan. 

Warga pemilih, dengan keterbukaan informasi yang begitu luas, dapat melacak segala hal yang diklaim sebagai prestasi. Tidak mungkin bisa ditutupi. Bahkan konsekuensinya dapat dipermalukan, bila lebih banyak memanen dari pada menanam. (nm)

0 Komentar